Advertisement

Responsive Advertisement

Di sini Jiwasraya Menginvestasikan Dananya

AkasiaMedia.com-Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru saja mengungkapkan sejumlah saham yang merupakan aset dasar dari aset dasar PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Memang, hanya dua saham yang telah diungkapkan, yaitu saham PT Trada Alam Minera Tbk. (TRAM) yang dimiliki oleh komisaris utama Heru Hidayat dan PT Mahaka Media Tbk. (ABBA) yang merupakan perusahaan yang didirikan oleh Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir.

Hal ini disampaikan oleh Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga yang mengatakan bahwa kedua saham ini telah dipegang oleh Jiwasraya sebagai bagian dari investasinya di pasar modal.

"Salah satu sahamnya adalah TRAM," di Kementerian BUMN, Kamis (26/12/2019).

Pada kesempatan yang sama ia juga menyatakan bahwa saham ABBA juga dimiliki oleh Jiwasraya dan dibeli melalui mekanisme pasar. Setiap pembelian mekanisme pasar bebas dilakukan oleh siapa pun, termasuk saham oleh investor mana pun di Bursa Efek Indonesia. Ini membuat perusahaan juga tidak tahu siapa yang memiliki saham.

"Untuk meluruskan tentang dia berinvestasi di perusahaan Pak Erick, dia [Jiwasraya] membeli di pasar, jika dia membeli di pasar itu gratis, dia membeli dan menjual. Ini bukan investasi apa pun, dia bebas untuk membeli dan menjual dan itu seperti di pasar, "jelasnya.

Lalu, saham apa yang dipilih oleh perusahaan asuransi milik negara untuk menginvestasikan premi yang diperoleh dari pelanggan?

Pengamat pasar modal dan Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan dalam penelitiannya, berdasarkan laporan keuangan Jiwasraya, ditemukan bahwa dalam laporan keuangan perusahaan Jiwasraya telah berinvestasi dalam tiga jenis saham, yaitu saham perusahaan milik negara (BUMN), lokal perusahaan milik pemerintah dan perusahaan milik swasta.

Dari total investasi saham yang mencapai Rp 6,22 triliun, eksposur saham perusahaan BUMN mencapai Rp 4,57 triliun dan di perusahaan milik daerah nilainya mencapai Rp 1,62 triliun. Sedangkan di perusahaan swasta hanya Rp. 26,22 miliar.

"Sekarang, untuk BUMN, berdasarkan data registrasi efek dari BEI, ada dua BUMN yang sahamnya masih dimiliki Jiwasraya dalam jumlah besar / di atas 5% kepemilikan. Mereka adalah PT Semen Baturaja Tbk. (SMBR) dan PT PP Properti Tbk. (PPRO), "tulis Teguh di situs pribadinya, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (27/12/2019).

Menurut data terbaru dari BEI, hingga saat ini Jiwasraya memiliki 9,19% kepemilikan di SMBR dan 8,51% di saham PPRO.

Sedangkan saham perusahaan daerah yang dipegang oleh Jiwasraya adalah PT Bank Pembangunan Daerah di Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR).

Namun, tidak diketahui apakah perusahaan ini masih memiliki saham BJBR karena jumlah kepemilikan tidak disebutkan. Jika sudah, kemungkinan kepemilikannya di bawah 5% sehingga dianggap sebagai kepemilikan publik.

Menurut Teguh, ketiga saham ini berkinerja sangat baik pada tahun 2016 ketika Jiwasraya melaporkan pengembalian investasi berpenghasilan tinggi. Mengacu pada laporan keuangannya untuk tahun ini, perusahaan mengantongi keuntungan dari perubahan nilai wajar surat berharga senilai Rp 1,57 triliun.

"Berdasarkan informasi dari dengar pendapat antara manajemen Jiwasraya dan DPR, pada Agustus 2019, ditemukan bahwa pada 2016 Jiwasraya membeli SMBR dengan harga Rp 1.555 / saham dan membeli PPRO dengan harga Rp 1.000, ( harga sebelum stock split, setara dengan Rp 250 -an setelah stock split), "jelasnya.

"Dan pada akhir 2016, SMBR dan PPRO ditutup masing-masing pada Rp 2.790 dan Rp 1.360. Inilah yang membuat Jiwasraya pada akhir 2016 membukukan 'keuntungan dari perubahan nilai wajar efek'," tambahnya.

Sementara itu, Teguh menjelaskan, pada 2016 harga saham BJBR juga terbang ke harga Rp3.000 / saham dari Rp755 / saham yang juga berkontribusi pada laba perusahaan untuk tahun tersebut.

"Perlu diingat bahwa SMBR, PPRO, dan BJBR adalah saham second liner, yang tentu saja tidak likuid seperti blue chips, seperti BBCA dkk. Jadi membeli triliunan triliunan rupiah seperti itu tentu sangat berisiko," Pada dasarnya, tiga perusahaan di atas tidak istimewa, sebaliknya kinerja SMBR terus menurun, dan penilaiannya pada waktu itu (pada 2016) juga sangat sangat mahal, "katanya.

Post a Comment

0 Comments