AkasiaMedia.com, Indonesia - Presiden Joko Widodo tidak berhenti berbicara tentang lambatnya pembangunan kilang di Indonesia dalam dua bulan terakhir. Menurut dia, selama hampir 30 tahun Republik Indonesia belum membangun kilang dan dia bertanya-tanya apa yang menyebabkan pembangunan kilang terhenti sampai pembaruan.
Kilang terakhir yang dibangun di Indonesia adalah kilang Balongan pada 1990-an. Jokowi mengendus aksi importir dan mafia migas yang telah lama menghambat pembangunan kilang di Indonesia.
Apakah itu benar-benar hanya tindakan mafia, atau ada hal lain yang menghambat pembangunan kilang RI.
CNBC Indonesia mencoba merangkum beberapa pertanyaan dari beberapa tokoh dan pakar terkait hal ini, faktanya pembangunan kilang tidak selalu terhambat karena ulah mafia. Berikut ringkasannya.
1. Kemauan Politik
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, untuk membangun kilang yang pertama kali dibutuhkan adalah kemauan politik pemerintahannya.
Mengimpor bahan bakar, katanya, memang yang terbaik dan termudah. Sementara itu, membuat kilang sudah mahal juga. Tapi, ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan perdagangan Indonesia.
"Impornya bagus, uangnya cepat. Impor itu bukan karena negara tidak mampu, tetapi meminta politik," kata Bahlil, Jumat (27/12/2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Mantan Direktur Pelaksana Pertamina Martiono Hadianto, ia mengatakan bahwa pembangunan kilang tidak selalu diperlukan oleh Pertamina dari pemerintah. Mengingat, Pertamina juga memiliki banyak tugas lainnya.
Dia juga mengatakan bahwa itu membutuhkan dukungan pemerintah, dan juga keputusan politik sangat penting. "Kilang terakhir yang dibangun adalah Balongan pada masa orde baru, setelah itu kita memasuki reformasi. Selama bertahun-tahun kondisi ekonomi saat ini belum stabil, sehingga pemerintah juga fokus berbeda," katanya kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Pertamina, katanya, mengikuti arahan kepemimpinan negara. Namun, perlu dicatat bahwa jika arah saat ini adalah pengembangan kilang menjadi fokus, maka harus didukung dengan kebijakan lain yang mendukung agar pengembangan kilang tidak perlu sia-sia. "Bagaimana jika menggunakan bahan bakar yang lebih baik, jika Anda mendapatkan kilang tetapi masih menggunakan premium sedangkan standar harus memiliki bensin EURO V, bagaimana?" pesan.
2. Ingin Membangun Kilang atau Ingin Bahan Bakar Murah?
Kunci untuk membangun kilang tidak dapat dialokasikan ke tubuh PT Pertamina (Persero) begitu saja, sebagai satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membutuhkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di seluruh negeri.
Semua orang tahu, Pertamina memiliki beban besar di sektor hilir, mulai dari distribusi bahan bakar hingga LPG, yang kian meningkat kuota. Sementara itu, pelat merah juga harus terus berinvestasi di sektor hulu sehingga produksi tidak terus menurun.
3. Mafia Minyak dan Gas
Memang, perlu, selama periode waktu tertentu, peran mafia minyak dan gas telah menghambat pengembangan kilang.
Hitungan tim reformasi tata kelola migas sewaktu membongkar praktik mafia migas di 2014-2015 lalu di tubuh Petral, diketahui para importir minyak ini bisa mendapatkan US$ 1 sampai US$ 3 dari tiap barel impor minyak ke Indonesia.
Jokowi pun jengkel bukan main, ia meyakini ulah-ulah mafia ini masih menggangu sampai sekarang dan membuat RI tak jalan-jalan bangun kilang.
Jokowi pun jengkel bukan main, ia meyakini ulah-ulah mafia ini masih menggangu sampai sekarang dan membuat RI tak jalan-jalan bangun kilang.
Anggota Tim Reformasi & Tata Kelola Migas (2014-2015), Fahmy Radhi menyebut pembangunan kilang RI selama ini terhalang ulah mafia migas. Akibatnya lebih dari 30 tahun tak ada satupun kilang yang terbangun, kondisi ini membuat Indonesia terus-terusan impor. Dampaknya terjadi defisit neraca perdagangan khususnya di sektor migas yang tidak kunjung rampung.
"Mafia migas itu ada di mana-mana. Ada di Pertamina mungkin ada juga di Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, atau Kementerian Perekonomian yang mana mereka secara inheren bisa mempengaruhi kebijakan," ungkap Fahmy, Rabu, (18/12/2019).
Kebijakan yang dipengaruhi kemudian mencegah adanya pembangunan kilang. Dirinya meyakinkan jika kondisi ini nyata terjadi, pasalnya intruksi presiden sampai lima tahun tidak pernah berjalan. "Ini RI 1 loh yang meminta, tapi kenapa nggak bisa ini kan aneh," imbuhnya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan pembangunan kilang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Pertamina sebab pembiayaannya bisa mencapai US$ 10 miliar per unit.
PT Pertamina (Persero) harus mencari partner dengan memberikan jaminan keekonomian.
"Sejak 25 tahun lalu keekonomian ya kayak gitu, tapi China, Arab Saudi bangun kilang terus karena untuk security energi," ungkapnya, Jum'at, (20/12/2019).
Negara lain menurutnya berkorban menciptakan keekonomian sendiri, misalnya memberikan Internal Rate Return (IRR) sesuai dengan permintaan investor. Ari mengenang saat dirinya masih jadi Dirut Pertamina, pernah mengusulkan agar Pertamina yang bangun dan cari investor, namun IRR dijamin 10-12 %.
Akan tetapi, melalui penjaminan ini harus ada margin tertentu. Sayangnya margin tertentu ini lebih tinggi sehingga bisa berdampak pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih tinggi. "Biarin ini Pertamina yang tanggung, tapi jangan dimarahin, jangan di KPK kan, dan Kejaksakan," pintanya.
Hal ini menurutnya yang Pertamina lakukan pada zaman Ode Baru ketika membangun Kilang Balongan. "Malah harganya dinaikkan 5% bisa itu ada keekonomianya," ungkapnya.
0 Comments